Padamu, entah telah berapa kali cintaku terjatuh. Tak ingin
kuhitung dan tak mungkin terhitung. Kamu poros rasa; pusat segala debar
di dada. Kamu satu-satunya titik yang terpeta, di hati juga kepala;
tujuan langkah-langkah yang sulit mengenal lelah.
Ternyata
kita tak pernah sepaham tentang apa arti cinta. Bagiku cinta adalah
kamu, namun bagimu cinta bukanlah aku. Sebab itu, saling memiliki adalah
salah satu dari sejuta hal mustahil yang pernah kuamini sepenuh hati
namun tak jua terjadi.
Perhatianmu selama ini
tanpa tujuan, kedekatan kita tampak semakin samar di masa depan.
Genggaman tangan barangkali hanya tanpa perasaan, di saat aku sedang
sebenar-benarnya mendambakan. Tutur kata cinta yang begitu mudah
terucap, setiap waktunya melahirkan sebuah harap.
Sepasang
tatap mata teduh, kepada mereka aku telah terjatuh. Sebentuk
angan-angan, di sanalah kita sedang kuciptakan. Bahagia sudah siap untuk
kugapai, saat kamu justru memilih kata selesai.
Kukira
aku cukup mengenalmu untuk menjadi keinginanmu. Kukira rasa kita saling
menyambut untuk kemudian saling menyambung. Kukira kamulah jawaban dari
segala perkiraan. Memang nyatanya tak baik mengira-ngira, menciptakan
semesta semu bernama asa.
Mengapa perilakumu
seakan bilang cinta, namun hatimu ternyata tidak? Tanya ini tak pernah
habis kutulis dalam benak. Andai sejak dulu, aku tak keliru mengartikan
bahasa tingkah lakumu, kuyakin rasa ini tak akan menjadi terlalu. Jika
kita tak mungkin, namun aku tak berhenti ingin, aku harus bagaimana?
Jika kamu telah menemu bahagia di hatinya, namun bahagiaku hanya di
hatimu, aku harus bagaimana?
Bukankah ada bahagia
yang tampak nyata saat kamu bersama dia, sementara tatapan mata begitu
hampa ketika bersamaku? Kebersamaan kini telah hilang makna, namun rasa
yang ada padaku enggan untuk sirna. Entah aku yang belum siap atau
perjalanan memang harus kulalui seorang diri lagi. Namun kekosongan
hati, entah siapa lagi yang akan mengisi.
Barangkali,
Tuhan hendak ajarkanku arti merelakan. Apa yang kudapat dari segala
rasa yang kuberi namun tak pernah mendapat balasan. Barangkali, kamu
hanya cinta titipan, yang kapanpun bisa direnggut kembali oleh Tuhan.
Atau barangkali, aku yang terlambat memahami. Bahwa ucap katamu serta
tingkah lakumu yang pernah berarti untukku, nyatanya tak pernah berbekas
apa-apa di hatimu.
Pada akhirnya, tak pernah
hati ini mampu menyalahkanmu sebagai cinta yang salah. Sebab jika memang
kamu suatu kesalahan, mengapa mencintamu terasa begitu benar? Pada
akhirnya, doa menjadi ungkapan paling sederhana dalam ukuran cinta yang
tak mengenal angka.
Bila ujungnya adalah kamu
yang tak dapat kumiliki, biarkan setidaknya aku mensyukuri keberadaanmu
pada segala ruang dalam hati. Meski kini hanya tinggal sisa-sisa mimpi
yang berharap untuk menjadi nyata suatu saat nanti. Sekarang,
berjalanlah ke titik di mana kamu sudah menentukan langkah. Pada bahu
sebelah kananmu, doa-doaku memilih untuk menetap di sana, seandainya
suatu saat nanti kamu butuh tepukan pundak pemberi semangat.
Tentang
cinta yang enggan tanggal meski hatiku telah ditinggal, jangan pernah
tanya mengapa. Sebab ribuan jawab rasanya akan percuma, jika tetap kita
tak mungkin bersama. Semoga bahagia betah merumah di dadamu, semoga
bahagia sesegera mungkin menemukan aku.
<photo id="1" />
0 Response to "Ternyata Salah"
Post a Comment