Jika
boleh aku ingin meminta, sisakan untukku cintamu itu. jangan percuma
kamu berikan pada mereka yang tak lebih menginginkannya dari aku. Jika
boleh berjanji untuk waktu yang nantinya akan kita lewati, aku hanya
bisa memegang satu janji. Takkan kusia-siakan cintamu, kan kulipat
gandakan menjadi sekumpulan rasa pemberi kebahagiaan.
Tapi,
sayangnya apa yang kulihat sampai hari ini belum pasti. Inginku masih
berupa angan, kamu yang menentukan. Seandainya saja ada beberapa
kenangan menyedihkan yang dapat sekejap saja kulupakan. Seandainya saja
ada beberapa tangisan yang masih bisa kutahan. Seandainya saja ada
perasaan yang bisa kuubah untuk tak lagi mengharap balasan. Karena hati yang selama ini masih kutuju, entah kali ini sedang mengharapkan siapa, entah kali ini sedang memikirkan apa.
Bukan tak pernah aku ingin membuka pintu pada hati yang lain, namun percuma jika kuncinya masih padamu kutitipkan. Bisakah kamu, untuk sekali saja, ajarkan aku caranya melarikan diri dari kenangan?
Agar aku paham bahwa kenangan memang hanya boleh dianggap sebagai
kenang-kenangan dari masa lalu. Agar aku paham bahwa tak baik
mengharapkan untuk terus bersamamu seperti dulu.
Bukannya aku tak
pernah mengindar, tapi kamu selalu tiba dan menahanku untuk keluar.
Kadang aku heran dengan teka-teki yang Tuhan berikan. Jika memang ujungnya kita tak bersama, mengapa Tuhan masih memberikan temu yang bernyawa membangitkan angan-angan untuk bersatu?
Hati sudah terlalu sakit diberikan resep-resep palsu untuk berhenti
mencintaimu. Entah siapa yang bisa mengajariku mengentikan rasa itu.
Adakah yang sanggup mengajariku, bagaimana caranya agar tak selalu menyalahkan? Karena menjadi benar pun tak selalu bisa mengubah keadaan.
Kisah
kita yang telah lalu mungkin bukan untuk dilupakan, karena sudah
berkali-kali kuusahakan. Di benak ini, sudah ada tempat khusus untuknya
agar selalu menjadi kenangan terindah. Untuk seterusnya, semoga
kedekatan kita tak begitu berubah. Yang aku ingin hanya bisa
mengikhlaskan, jika melupakan begitu mustahil dilakukan. Yang aku harap
hanya bahagia yang kembali nyata, meski harus dilalui tanpa sebuah
‘kita’. Harus kamu pahami bahwa mencintamu dari jarak sejauh ini,
aku tak pernah sekalipun menyesali. Sebab dalam cinta, aku memang pandai
memberi. Namun untuk menerima kenyataan, aku harus banyak belajar lagi.
Terkadang
aku tersentak dengan berbagai kecewaan dari secuil apa yang kau
lakukan. Kamu tak pernah tahu bukan? Dan aku tak ingin menyalahkanmu
atas ketidaktahuanmu. Karena beginilah kita, selalu diisi oleh tanpa
yang melahirkan hampa. Beginilah kita, mungkin lebih baik berpecah jadi dua yang tak saling mengusik.
Aku benci dengan segala fakta-fakta itu. Fakta bahwa bukan aku sosok
yang nantinya akan melengkapimu. Tapi mana bisa aku memanjati dan
berlari dari kenyataan yang sudah dihidangi? Aku harus menerima bahagia
yang dikirimi sesuai porsi, meski pindah ke lain hati adalah salah satu
hal yang sulit terbayangi oleh diri.
Sekarang aku mengerti, bahwa
kita yang dulu kini telah berubah. Walau masih belum mampu aku untuk tak
mengenang segala kisah yang telah berlalu dengan indah. Entah di mana
kamu temukan rumahmu, aku masih saja menunggu bersama khayalan semu. Aku
masih saja berharap, bahwa suatu hari nanti kita akan bersama lagi. Aku masih saja ingin, menjadi kita yang sudahlah tidak mungkin. Aku masih saja menanti, padahal segala mimpi-mimpi hanyalah akan menjadi mimpi.
Mungkin memang pada akhirnya harus begini. Kita
dipertemukan, diberi kesempatan saling membuat sebanyak mungkin
kenangan, lalu dipisahkan. Dipisahkan untuk dipertemukan Tuhan dengan
yang lebih baik lagi. Sungguh, Aku lelah berandai-andai, maka
semoga ini terakhir kalinya aku mengingat kita dengan pahit. Semoga esok
aku mampu mulai menulis lagu untuk masa depanku sendiri, bait demi
bait.
Aku hanya ingin menjadi yang mengingatmu tanpa ada kesal, tanpa ada sesal, yang ada hanya rasa syukur yang menebal. Aku hanya ingin menjadi yang pernah mencicipi rasanya mencintai tanpa harus dapat kembali. Aku
hanya ingin menjadi satu-satunya perempuan yang masih bisa bersyukur
tanpa mengukur-ukur apa yang seharusnya kau berikan secara teratur.
Setidaknya
kau bisa merasa, mana yang seharusnya kau perjuangkan. Aku yang
mencintaimu tanpa mengharap imbalan atau sesosok lain yang selalu
menyumbang kepahitan.
Terima kasih karena kamu sudah mengajariku bertahan dari rasa-rasa pahitnya cinta. Setidaknya dulu aku tak sedewasa ini.
Maju itu sulit, ketika pikiranmu memaksa sebelah kakimu untuk
melangkah, namun hatimu memaksa sebelahnya lagi untuk diam di tempat.
tak akan selesai, mustahil ada ujungnya.
bisa kau beri tahu aku bagaimana untuk berhenti?
ReplyDeleteBerhenti apa emng"?
Delete