Kedua kaki sudah siap untuk melangkah pergi. Kubungkus
ekspektasi dengan sangat rapi, hingga mereka tak akan bisa terbang yang terlalu
tinggi. Degup resah yang akhir-akhir ini sempat tak terdengar lagi, perlahan
tampak tanpa kendali. Entah apa yang akan semesta suguhkan; sebuah pertemuan
atau hanya semburat kekecewaan.
Sabar, hati. Aku berujar pada pantulan cermin sendiri—seolah
dengan mengucapnya mampu redakan dentuman debar.
Ada seorang anak kecil di dalam aku yang sudah tak
sabar—seolah bertemu denganmu sama manisnya seperti gula-gula ukuran besar. Ada
seorang dewasa di dalam aku yang tak henti mengingatkan—hati-hati, terkadang
keinginan hanya mampu terwujud dalam khayalan.
Berharap kamu di seberang sana resah akibat rasa yang sama.
Berharap kamu di seberang sana bertanya-tanya perihal ketidakpastian yang sama.
Apakah kita bertemu memang untuk bersatu? Ataukah kita bertemu hanya agar luka
mendapat jalannya yang baru?
Sepenuh hati aku mengumpulkan buruknya kemungkinan agar tak
terbiasa dengan khayalan tanpa tanda-tanda kenyataan. Pada sepetak lantai di
mana kita pernah menjejak, aku berharap di titik yang sama akan mendengar derap
langkahmu semakin mendekat. Di selembar angan-angan kosong aku mengajari hati
bagaimana caranya agar tidak perlu berdetak terlalu cepat. Tapi, tampaknya akan
percuma. Sebab kamu saat ini sudah berada di depan mata. Tanpa mulut yang
terbuka, lambaian tangan di udara, kita bertegur sapa secara maya. Tak apa
semesta, aku sudah cukup bahagia.
Memang lebih baik berharap tak terlalu tinggi, agar ketika
semesta memberi yang berlebih, yang muncul hanya bahagia di hati. Maka ketika
mata menatap mata, ada yang jatuh tak terduga—hati kita. Rasa yang semula
kukira saling menolak, kini ternyata saling memihak. Tak sia-sia setiap lafal
doa. Sepertinya benar, pada pintu di dadamu, mereka melabuhkan asa.
Selamat bertemu, cinta..
0 Response to "Menuju Pertemuan"
Post a Comment