Satu kata yang kukira adalah akhir dari segala kita. Satu
kata yang nyatanya memberi bukti bahwa masih ada yang mustahil usai; namanya
kenangan.
Kenangan ialah sisa-sisa ingatan yang mengakar hingga dada,
masih menganggap kamu di sana. Kenangan ialah samar-samar harum tubuhmu diembus
udara, masih mengira kamu tak ke mana-mana. Kenangan ialah yang menyiksa aku;
yang meminta aku terus menengok ke arah yang semula ada kamu. Kenangan begitu
nakal. Ia mematenkan kaki-kakinya untuk berdiam di ingatanku kekal.
Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air
mata yang terjatuh dari pipimu selalu disebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu
yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena
dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu. Hilang di makan waktu
mencintai pria baru. Itu salahku, dan mungkin karma jadi makananku.
Sepayah itulah aku tak bisa menjaga ‘kita’. Sekuat itu pun
juga kamu telah berusaha. Sampai hentakkan semesta menyadarkan bahwa kita tak
bisa lagi seperti semula.
Terpejam mataku meninabobokan kesedihan, sementara
menghindarkan aku dari kesesakkan. Namun nyatanya kedua mata yang terbuka di
esok hari, menyadarkan bahwa kamu tidak lagi di sisi. Tinggi hati, kuhalangi
air mata yang ingin mengalir melewati pipi. Meski secara sembunyi-sembunyi,
baru aku berani mengakui bahwa aku masih mengharapkan kita untuk kembali.
Salahku, mengapa dulu tidak piawai dalam menggenggam.
Salahku, mengapa dulu memilih untuk diam. Salahku, mengapa dulu seakan
melepasmu pergi.
Sesal memang sesak. Yang tersisa hanya letup-letup kecewa
namun tak mungkin membawaku ke pelukanmu yang semula.
Sebelum aku benar-benar selesai menghitung langkah mundur
dan mulai berjalan ke hadapan, kuingin lihat senyummu untuk terakhir kali.
Senyum yang tercipta karena aku, bukan karena lelaki yang kini di sampingmu.
Bolehkah?
Semoga keputusanku untuk memutar arah dan melanjutkan
langkah tak akan berubah. Meski di masa depan aku tak tahu akan terjadi apa,
kuharap kamu sudah kurelakan sepenuhnya. Kuharap kelak aku hanya akan
mengingatmu sebagai yang indah-indah saja.
Kamu masih tetap cantik. Kenangan tentangmu pun akan kujaga
pada lemari memori, tertata antik. Kadang memang masih terasa sakit saat kedua
telinga tak sengaja diperijinkan mendengar cerita tentangmu yang kini telah
berdua. Tapi kuharap, sesal itu tak seperti rel yang mengiringi kemanapun
roda-rodaku pergi. Aku ingin memindahkan perasaan ini pelan-pelan. Ke perempuan
yang tepat tentunya.
Melalui kamu, aku tahu cara menjaga hati. Melalu kamu aku
pun tahu bagaimana rasanya sebuah ‘penyesalan’. Jika telah datang nanti
perempuan istimewaku, takkan kulakukan pengulangan perlakuan.
Kini langkah kaki dan logika sepemikiran ingin melaju ke
depan. Sementara kamu, tetap indahlah dalam kenangan. Sebagai sesuatu yang
selama ini sudah banyak memberikan pelajaran. Sedangkan aku, mencoba memulai
kembali dari sepanjang perjalanan yang sudah terlewati.
Di penghujung jalan nanti, semoga tidak akan ada kesalahan
kedua. Semoga tidak akan kuakhiri lagi segala usaha dan air mata dengan begitu
sia-sia. Semoga tidak akan ada lagi senyuman manis yang menjadi korban. Sebab
satu penyesalan lamban untuk lenyap, sedangkan seribu pengalaman tak akan juga
cukup.
0 Response to "Telah berhenti Selesai."
Post a Comment