Sudah kutelan berjuta-juta sesak.
Atas setiap panorama dua yang dipenuhi asmara. Bukan aku, bukan kita, tapi
kalian. Sudah kupaksa membuta sementara, tapi yang kornea tuju hanya mencarimu
saja sebagai titik pusatnya. Susah ternyata angkat kaki dari perasaan yang
masih lembut bermanja. Sudah kuperlengkapi hati dengan senjata ampuh bernama
kecewa untuk tak jatuh dalam pusaran perasaan lagi. Tapi lagi-lagi aku kembali,
menganggap masih ada yang bisa kuperbuat untuk dapatkan sebuah solusi. Berjaga
dari tirai saja tak membuat perasaan ini lantas selesai. Berdiri di garis depan
pun tak membuat kekuatan ini bisa
memuai. Ingin menghindar, malah semakin tersasar. Ingin menjaga jarak, rasa
justru semakin berkembang biak.
Sudah kuatur jarak yang ada di
antara, namun justru membuat rasa makin mengada-ada. Sudah kujaga keakraban
supaya jangan berlebihan, namun justru membuat rindu kehilangan tujuan. Aku
berada di tengah-tengah, entah sudah berbuat benar atau salah. Aku berada di
tengah-tengah, entah sebaiknya mundur atau terus melangkah. Aku berada di
tengah-tengah, antara kebahagiaan kalian dan usaha yang mulai mencapai titik
lelah. Aku hampir kalah, namun untukmu aku enggan menyerah. Sebab ia, dengan
tanpa usaha, ternyata yang memenangkan hatimu. Tak ada yang salah. Bahkan meski
cintaku jatuh di tempat yang salah—hatimu. Kamu juga tak salah, bahkan meski
dengannyalah bahagiamu; bukan denganku. Kita sama-sama ingin bahagia, dan
sayangnya bahagia bukan berarti ‘kita’.
Harus salahkan siapa, jika tak bisa selain kamu yang menghuni rongga
dada? Harus salahkan siapa, jika tak ingin selain kamu yang membalas jutaan
cinta?
Ada tali tambang yang mencekik
leherku setiap kali telinga mengijinkan berita kalian di perdengarkan. Karena
akhirnya aku pun tahu bahwa dari senyumannya kamu hidup dan hanya tersisa
perihlah yang bisa kuhirup. Bisik-bisik persetujuan atas kisah kalian, bolehkah
kupinta untuk dihilangkan? Aku malas mendengarnya, malas mengomentarinya dengan
senyum pura-pura. Jika berpura-pura itu bagian dari sebuah nilai merah sebuah
ujian, tolong dikte apa yang harus kulakukan. Rasanya sakit jika aku harus
terus-terusan terkait. Rasanya sakit jika sekejap aku langsung terusir saat dia
hadir.
Terlalu banyak kata yang
terlontar tanpa sadar, terlalu sedikit kadar keinginan untuk mengungkapkan.
Kita, barangkali memang terlalu tidak memungkinkan untuk menjadi mungkin. Kamu
lebih senang bermain-main dalam pikiran, seolah-olah di sanalah tempat
ternyaman. Padahal, barangkali tak ada yang melebihi indahnya genggaman tangan,
dan sepasang yang berjalan beriringan. Ada sewujud keinginan supaya jangan
sampai kalian dipersatukan. Namun, bukankah terlihat seperti aku yang tak bisa
menerima kekalahan? Maka, pintaku hanya satu pada Tuhan; sesingkat apapun
hatiku mampu bertahan, menjadi kuatlah meski tanpa tumpuan. Sebab, menjauh
ialah tak bisa sedangkan mendekat hanyalah bahagia yang sia-sia.
Barangkali ini memang jalannya.
Harus terjatuh sekian jauh, agar bahagia yang kelak datang, mampu kurengkuh
penuh. Harus terluka sekian pedih, agar semakin kuat dan tahu kapan berhenti
bersedih. Tak mengapa, aku tahu inilah kesempatanku untuk belajar rela.
Sungguh, bagiku, ini tak pernah mudah.
Aku terhimpit bimbang. Maju tapi
dipenuhi luka atas cinta yang tak setara. Mundur dengan susahnya rasa yang
harus berbaur pada kenyataan.
0 Response to "Terhimpit Bimbang"
Post a Comment