Terasa letih bila aku terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi
jika kamulah penggerak di balik setiap alasan. Aku pun bosan harus
memakan kata-kata manismu, hasil pelarian dari pahit yang mampir dalam
hidupmu.
Jika ada dia, aku harus sukarela menyingkir. Jika tidak
ada dia, benakku merasa diharuskan untuk hadir. Pelampiasan atau sebuah
permainan?
Atau aku yang terlalu bodoh tak bisa melihat batas harapan
dan kenyataan?
Kakiku berlari menjauhi titik-titik pencipta
luka. Tapi saat aku nyaris mantap untuk pergi dari arenamu, ada saja
tarikan-tarikan penggoda untuk tetap disana.
Pada langkah yang
hampir terhenti, kamu ada. Pada harap yang perlahan memudar, kamu hadir.
Tersisalah aku dengan sebuah keadaan, di mana arah yang semestinya
kutuju masih samar. Entah harus terus berjuang atau memang tak perlu
keluar sebagai pemenang. Kebahagiaanku masih terombang-ambing, aku
terpaksa mengikuti ke manapun ia ditempatkan.
Pada kepulanganmu
yang berulang, ada kata selamat tinggal yang siap-siap kembali kujelang.
Kata selamat tinggal yang kuharap tak pernah lagi kudengar. Aku ingin
kamu tetap di sini, mencipta bahagia dari dua sisi, bukan mencari
bahagia kita sendiri-sendiri.
Akankah semua inginku hanya sanggup
menjadi angan? Tak bisakah segalanya jadi kenyataan? Sebab rasa ini
nyata, namun kedekatan kita hanya sebatas ini saja.
Setelah
berperang dengan dirimu yang dirasuki perubahan, akhirnya kamupun
pulang. Satu sapa pun bisa merapikan keretakan yang sempat tercipta.
Satu senyum yang tulus darimu pun meluluhkan kaki yang nyaris melangkah
dengan tekad serius. Angan terus berlanjut, tanpa ada kepastian yang
bergelayut.
Seandainya tidak ada dia, apakah kamu akan memperjuangkan kita?
Ketidakpastian
semakin terlihat jelas, terutama saat percakapanmu dengannya belum
berhenti. Aku takut jika nanti tumbuh cinta yang lebih besar lagi.
Lalu kapan waktuku untuk menyediakan cinta? Lalu kapan seutuhnya kamu ada buatku?
Mengapa kamu pulang hanya untuk singgah, kemudian justru pergi lagi?
Mengapa kamu ke sini, namun sangat terlihat jelas bahwa dengannya kamu masih jatuh hati?
Sepasang
mata ini mengharap temu, kedua tangan ini mendambamu. Sebab kebahagiaan
terasa utuh dan sederhana kala kita bersama. Sebab senyuman tak sanggup
terkata di saat kita berjumpa. Tidak bisa kamu di sisi untuk selamanya?
Lalu tetapkan pilihanmu sehingga tak perlu ada angan yang merasa
dimainkan.
Titik akhirnya, memang aku yang harus selalu rela.
Datang dan pergimu hanya repitisi percuma yang entah mengapa tetap saja
mampu membuat bahagia. Sederhananya, bahagiaku tertitip di kamu. Jika
kamu menuju arah yang bukan aku, begitupun bahagiaku menjauh. Entah
hingga kapan harus terikat padamu. Sebab jatuh hati ini telah terlanjur,
tak mungkin aku bisa mundur.
Izinkan aku membuktikan bahwa hati
ini pun berhak disuguhi kesempatan.Dengan ramuan rasa sederhana, aku
akan membangunkanmu dari hibernasi lelahnya kepercayaan hati. Aku akan
melahapmu separuh, biar kamu tahu ke mana ruang itu kau berikan dengan
utuh. Aku menunggu sampai kamu mengandalkanku bukan hanya saat butuh,
tapi karena akulah prioritas bahagiamu terisi penuh.
Itu bukan keinginan yang muluk-muluk, kan?
Kebahagiaanku
kini masih bertumpu pada ketidakpastian. Entah kapan, tapi pasti kita
akan bahagia dengan pelengkap pilihan Tuhan. Tapi untuk sekarang, doaku
masih menyelipkan namamu sebagai penghantar kebahagiaan.
0 Response to "Ku Sebut Dia Ketidak Pastian"
Post a Comment