Di sebuah ruangan yang dipenuhi kesunyian, rindu
demi rindu berlarian, air mata demi air mata berjatuhan. Mungkin di atas sana,
Tuhan sedang menatap dengan penuh kekhawatiran atau barangkali di balik
punggungNya tersembunyi sebuah kejutan. Entah
dimulainya sejak kapan, cinta ini sepertinya sudah cukup lama aku pendam
sendirian. Aku tidak mengerti
dengan baik mengenai kerelaan. Namun yang aku tahu dengan pasti, di detik saat
sebuah senyum kausunggingkan, di titik yang lain aku juga turut merasakan
kebahagiaan.
Detak-detik jarum jam menusuk telinga, seakan
menegaskan ada nada bisu yang diteriakkan semesta untuk kita. Sunyi sudah
menjadi teman, sejak kutahu aku bagimu tak mungkin menjadi pasangan.
Aku ingin kamu menginginkanku.Satu kalimat yang kemudian menguap seiring berlalunya waktu. Betapa menjadi yang tulus mencintai, menanti sepenuh hati, tetap saja bukan jaminan akan balas dicintai. Apakah cinta memang begini? Apakah cinta bisa setega ini, ataukah aku yang salah menangkap arahan Tuhan tentang rasa di hati?
Terkadang aku ingin cinta kita semudah
membalikkan telapak tangan, namun kusadari bukan dengan sesingkat itu mimpi
bisa terwujudkan. Terkadang aku ingin cinta menemukan tujuannya setelah lelah
berjalan tanpa henti. Namun mungkin waktunya bukanlah saat ini. Mungkin tujuanku semestinya bukan
kamu. Mungkin aku tidak perlu membuang waktu untuk terus menunggu.Sebut saja
kedua mataku buta, yang tak juga menyadari ketika lampu merah ke arahmu sudah
benar-benar menyala.
Harus meminta Tuhan seperti apa, agar kamu kelak
membalas seluruh cinta? Barangkali memang begini seharusnya. Aku cinta, kamu tidak. Aku terluka,
kamu tak tahu apa-apa.
Bersandar pada ketetapan hati, aku terus menanti.
Meski kutahu bukan aku alamat rumah yang hatimu cari. Cinta ini sudah terlanjur, dan yang
tertinggal hanya serpihan hati yang hancur. Namun
belum menyerah aku memperjuangkanmu, sebab belum ada lain hati yang mampu
mengetuk pintu di dadaku. Jika aku terus mengharapkanmu, bolehkah? Aku hanya
ingin menjadi yang pintar mencintai, meski tak begitu fasih dalam ilmu
memiliki.
Sementara hati ingin menjadi satu-satunya yang
kamu ingini, cinta pun berkata, ia tak ingin membenci. Tak apa aku bukan
untukmu, tak apa kita tidak saling menuju. Tetap
saja segala harap, semua rindu, setiap peluk bermuara padamu.
Beberapa pelukan memang diciptakan untuk
mengantar rindu sampai ke tempat tujuan. Jika boleh sekali saja berharap untuk
bisa memelukmu, menganggukkah kamu? Jika boleh sekali saja tertawa untuk perjalanan
yang entah kapan habisnya, bolehkah aku? Jika selamat tinggal adalah
satu-satunya yang tersisa, ketahuilah bahwa selama ini kamu pernah menjadi
sosok yang benar-benar aku cinta. Pada
akhirnya kita berdua pasti akan bahagia. Meski
bahagiamu ialah dengan bersama yang lain, dan bahagiaku adalah mengubah arah
harapan menjadi sesuatu yang lebih mungkin.
Mengagumi dari jarak sejauh ini adalah pintu
bahagia yang kupilih. Dan semoga kelak, Tuhan akan memberiku kunci untuk pintu
menuju bahagia yang lain: merelakanmu, misalnya.
Aku bukanlah siapa-siapa, tentu saja aku harus
rela jika pada akhirnya kamu berjumpa dengan dia yang ditakdirkan semesta. Dan
aku memang bukanlah siapa-siapa, justru itu yang membuatku harus menelan
perihnya luka.
Jika mencintai dalam diam adalah jarak terjauh
yang mampu hatiku tuju, semoga secepatnya bahagia datang menujuku. Semoga tangan-tangan keajaiban ikhlas
kelak memelukku, mencipta rasa lega luar biasa ketika melihatmu bahagia, meski
bukan denganku.
Dingin dinding memeluk sunyi yang mencintaiku
tanpa tetapi. Aku tersenyum lemah pada bayanganku sendiri, seraya bertanya:
Masih sanggup menanti? Tak lelahkah hati?
Gaung namamu dalam bisu bibirku lebih nyaring
daripada seluruh tanya itu. Dalam hati, cinta padamu terus mengaliri sepi.
0 Response to "Cinta Dalam Hati"
Post a Comment