Di sebuah bidang datar tanpa
gerak, kini kamu tak lagi sendiri. Ada gembira yang begitu tampak, sebab
sela-sela jemari yang sisa sudah terisi. Pada sebuah bidang datar berukuran
kecil, sepasang mata menatap dua sungging senyuman tanpa beban. Barangkali begitu
bahagianya ketika telah menemukan pelabuhan pilihan. Barangkali begini rasanya
ketika menemukan ruangan kosong yang telah berpenghuni. Malam kini lebih sering
mencatat tentang tetesan air mata, dibanding senyum rahasia dan keberadaan
sebuah rasa.
Potret-potret itu berbicara
tentang raut bahagia dan rekaman peristiwa yang mungkin sulit terlupa.
Sedangkan disini aku meratap lama, mengakari rasa yang tak pernah bisa ku
akhiri, sambil menimang-nimang angan bahwa masih tersedia sebuah kemungkinan.
Ini pilihan sulit. Aku tak pernah bersedia duduk di posisi ini. Menikmatimu
hanya lewat senyuman yang terekam oleh potret-potret itu, tak bersuara menjaga
rasa yang selalu terpenjara. Sedangkan seseorang, bebas memiliki yang selama
ini tak bisa kugapai. Kamu.
Seandainya ada satu pinta yang
boleh disetujui semesta, aku ingin bertukar posisi dengannya. Meski sekali
saja. Agar aku tahu apa rasanya berbagi bahagia.
Sayangnya, keinginanku terdiri
dari dua hal: mimpi yang ketinggian, dan juga harapan yang kehabisan
kemungkinan. Tidak sampai terlalu lama sepertinya aku dibiarkan untuk terus
berangan. Sebab, kenyataan datang bersamaan dengan sebuah berita tentang
kesedihan. Mendamba kita yang bersisian hanyalah sebatas dambaan, memiliki
waktu untuk bersama dihabiskan hanyalah sebatas khayalan. Sebab, setidakmungkin
itu kita untuk benar-benar ada. Sesulit itu perbedaan untuk ditiadakan.
Sedangkan, sebahagia itu kalian untuk dipisahkan.
Pada potret itu, berulang-ulang
kekagumanku datang. Berulang-ulang pandanganku tak pernah mau pulang. Berhenti
disitu saja. Mengintaimu, mengingatmu, mengikat pandangku dan berulang-ulang
mencintaimu. Pada potret yang sama, berulang-ulang aku patah hati.
Berulang-ulang aku cemburu
melihat kebersamaan kalian.
Berulang-ulang rasa sakit itu menjadi pengganjal. Pengecutkah aku? Salahkah
masih mengharapkan yang lebih-lebih? Salahkah beriuh hebat soal sosok yang tak
sulit ku raih?
Ingin menyingkirkan potret yang
menyertakan kalian, tapi membuangnya pun sulit. Setengahmu, setengah dia, kini
telah jadi satu. Jika menutup mataku dari seseorang itu, sama saja menyeleksi
kamu. Sebab sekarang, kamu dan dia adalah dua hal yang tak terpisahkan. Lalu,
bagaimana mungkin aku kuat jika diharuskan mengangankan keduanya? Barangkali
bahagia memang harus belajar menerima.
Aku harus belajar berjuang
menemukan bahagiaku sendiri, bukan berdiam pada luka yang akhirnya masih entah.
Kini mendapatkanmu bukan hanya tak bisa, namun juga tidak boleh. Tidak mungkin
aku merusak senyuman yang dengan alasan cinta. Tidak mungkin aku menunggu tanpa
berbuat apa-apa. Maka, pertahankan saja senyum kalian pada potret itu. Aku akan
belajar mencari cara menyunggingkan milikku sendiri.
Kalian akan selalu jadi potret
warna-warni yang terus berdaur abadi. Sedangkan kita, hanya akan jadi klise
yang tak pernah jadi tercetak. Karena jelas-jelas kamu hanya akan memikirkan
dia dan selalu aku yang tersingkirkan pada akhirnya. Waktu tak kenal habis pada
dunia kalian. Kalian pun takkan butuh arloji untuk menyelesaikan temu.
Aku inginnya, menginginkanmu yang
juga menginginkanku. Tapi jikalau ini hanya mimpi, biarkanlah ini jadi penidur
yang paling ahli.
Sept 3, 2013
0 Response to "Potret"
Post a Comment