Sebelum peristiwa
manis itu dimulai beberapa hari lalu, aku tahu hari itu akan cepat berlalu.
Maka aku merekam segalanya dalam ingatan. Sebut saja ini firasat, sebelum
perpisahan bergerak lebih cepat.
Senyummu itu sumber
kekagumanku, hari itu aku duduk di
depanmu dan menikmati hal yang satu itu. Lagi-lagi tanpa kamu tahu. Bahumu
adalah pelabuhan tempat kepalaku selalu ingin terjatuh tak sengaja. Dan hari
itu akuingin melakukannya. Semesta
mengirimkan lagi bahasa-bahasa yang tak kumengerti, seperti kau ingin terculik
pergi.
Semula, semua
berjalan lebih dari baik-baik saja. Senyummu dari hati, senyumku lebih gembira
lagi. Namun, bahagia yang berlebihan selalu punya harganya sendiri. Barangkali
dengan kepergianmu, baru bisa kulunasi.
Kamu dekat tapi
terasa lebih jauh dari yang terlihat. Kamu ada tapi terasa lebih tiada dari
kenyataannya. Ah, bahkan perasaanku saja sudah bisa mengira, bahagia di dekatmu
seperti ini bukan untuk selamanya. Semesta semestinya tahu, menoleh pada yang
selain kamu bukan keahlianku. Semesta sudah pasti tahu, memang langkahku tak
seharusnya mengarah padamu.
Aku tak selalu
mengerti semesta, dengan segala permainannya. Aku lebih tak mengerti kamu,
dengan perhatian sementaranya. Hingga akhirnya aku semakin tak mengerti tentang
kebersamaan yang belum tergapai, namun sudah harus selesai. Kamu hadir
tiba-tiba, tanpa aba-aba. Kemudian pergi tanpa mengucap apa-apa. Paling tidak,
beri aku pemberitahuan, supaya aku tahu hatimu telah pindah haluan. Paling
tidak, beri aku tamparan, supaya aku tahu bahwa kita sudah tak lagi miliki
harapan.
Hari ini adalah saksi
dari beberapa pekan perjalanan hati menginginimu jadi penghuni. Ingin rasanya
meleraikan pikirku tentang ketidakmungkinan yang mengada-ada dalam kepala. Tapi
korneaku bekerja terlalu baik, mata menangkap kamu dan dia bercengkrama dengan
mesra. Tangan yang terbiasa mengayun bermain melingkar di bahuku, malam ini kau
gunakan memainkan tangannya. Sakitku lebih perih dari serangkai aksara ini. Aku
tidak apa-apa dengan retaknya hati yang terlalu tiba-tiba. Tapi mengapa harus
lahir peristiwa sepekan lalu yang begitu manis? Itukah tujuanmu menyakitiku
dengan manis?
Ingin rasanya lari
sejauh mungkin, menghindar dari pemandangan di depanku. Dan terjun dalam lautan
airmata sebebas-bebasnya. Selepas-lepasnya.
Apa ini yang
seharusnya terjadi padaku? Yang seperti ini? Mencintai tak tahu berhenti, tapi
selalu ditinggal ketika rasanya hampir memiliki.
Menjadi yang pintar
mengobati pun percuma, jika aku kelak gagal di cinta yang lain lagi. Tapi aku
tak mau yang lain. Sebab yang lain tentu bukan kamu.
Apa ini maksud
daripada semesta?
Memberikan semacam
firasat, supaya aku mampu melepasmu yang bukan lagi untuk sesaat? Apa ini
alasan di balik segala kedekatan? Supaya aku menyadari bahwa yang sudah lama
akrab, belum tentu bagian dari sebuah jawab?
Bahagiakah kamu
bersamanya? Sebab, sepertinya sudah tak perlu lagi kuminta, agar kamu mendapat
apa yang sudah kamu punya. Benar atau pun tidak, mulailah jalani hari-hari
barumu dengannya. Biar hati kecil mulai terbiasa untuk melepas dengan rela.
Biar tak perlu
kucari-cari apa yang telah tiada.
september, 2 2013
0 Response to "Firasat"
Post a Comment