Sept, 6. 13
Tak perlu jadi yang paling pintar untuk tahu bahwa kenyataan tak selamanya sesuai harapan. Kita yang semula sulit terpisahkan, kini bertolak belakang. Dulu, kamu hanya ingin denganku, aku juga hanya ingin denganmu. Tapi ternyata hanya keinginanku yang terus bertahan seperti itu.
Tak perlu jadi yang paling pintar untuk tahu bahwa kenyataan tak selamanya sesuai harapan. Kita yang semula sulit terpisahkan, kini bertolak belakang. Dulu, kamu hanya ingin denganku, aku juga hanya ingin denganmu. Tapi ternyata hanya keinginanku yang terus bertahan seperti itu.
Dari
hati yang terdalam, izinkan aku mengucap maaf. Maaf, aku terlanjur mencintamu begitu dalam.
Maaf, aku merasa memilikimu, dan masih ingin begitu hingga sekarang.
Maaf, tak seperti kamu, aku gagal menerima keadaan bahwa kita sudah tak
sejalan.
Entah
siapa yang semestinya kusalahkan; ekspektasi yang ketinggian, atau semesta yang
terlalu terlambat untuk menyadarkan. Aku butuh lebih dari sekadar waktu, untuk
memahami bahwa kita sudah tidak seperti dulu lagi. Untuk memaklumi, bahwa
hubungan kita sudah tidak seakrab dulu lagi. Untuk mengerti, bahwa aku sudah
tidak seberarti dulu lagi. Khayal masih menerbangkanku begitu tinggi, tanpa
kusadari bahwa sepasang tanganmu tak ada untuk menangkapku nanti.
Sungguh,
aku turut bahagia jika kamu baik-baik saja. Namun apakah kamu tahu bahwa ‘telah
terganti’ ialah tamparan keras bagi hati?
Kuharap
kamu pernah mengajariku agar mengerti
bahwa kelak posisiku sesungguhnya telah terisi. Agar bisa
kuterima bahwa bukan lagi aku yang kamu butuhkan saat ini.
Lalu
aku bisa apa? Sementara luka kujahit sendiri, kamu di sana sudah tak lagi ambil
peduli. Andai sedikit saja kamu mau menoleh lagi, lihat aku. Masih di sini,
masih membuka hati, masih menganggap kamu lebih dari berarti.
Aku
belum terbiasa untuk mengakui bahwa dia yang lebih bisa. Aku belum mampu untuk
mengakui bahwa kini dialah tujuanmu. Kukira aku selamanya jadi yang kamu
butuhkan, ternyata itu sebatas harapan. Kupikir tak ada yang bisa sepertiku
dalam hidupmu, ternyata kamu menemu ia yang dengan mudah menggeser seorang aku.
Perubahan
ini terjadi tanpa persiapan, kesadaran ini datang tanpa keberadaanmu. Maaf,
bila yang kubutuhkan masihlah kamu di saat kamu sama sekali tidak. Kini,
izinkan aku untuk membenahi lagi serpihan-serpihan yang masih berbentuk
retakan. Sementara kamu, pergilah dengan sepasang tangan yang kausebut
kebahagiaan.
Aku
di sini, akan belajar merelakan posisi yang sudah terganti.
0 Response to "Maaf, Aku Masih Mengharap"
Post a Comment