Bahagia Tanpa Kita




Kusebut kita calon masa depan, ketika rasa ini kurasa saling berbalasan. Namun itu telah menjadi masa lalu. Sebab kini, yang ada tetap saja aku dan kamu, tanpa ada rencana lagi menjadi ‘kita’ di situ. Kita pernah hampir bersama, kemudian takdir ternyata tak berjalan sebagaimana mestinya. Dan sedih adalah usaha yang percuma, sebab air mata nyatanya tak cukup kuat memanggil sebuah nama; namamu.

Kukira kalenderku akan penuh dengan cerita-cerita yang terisi oleh kita. Tapi nyatanya terlewati begitu saja tanpa sebuah kata bernama kita. Hanya kenangan tersisa sebagai kota lama, tanpa bisa lagi kuracik jadi buah tangan untuk masa depan. Tidak ada yang memulai, pun belum ada yang selesai.
Cerita kita hanya sebatas pemanis di negri utopia. Aliran air mata kini sampai tersumbat karena kode yang melahirkan kekecewaan sudah berkembang pesat. Aku tak ingin hati semakin melarat, seperti tak ada cinta tersisa untuk kupegang erat. Mungkin sesak akan berganti menjadi tawa lepas yang beranak pinak. Soal siapa si pemilik obat-obatan penyembuh hati, aku pun masih belum tahu pasti. Tapi yang kutahu, kecewa tak boleh lama-lama hinggap di bahu. Pintu hati harus kubukakan untuk objek baru itu.
Kesedihan tak boleh kupelihara berlama-lama, lalu hanya tumbuh seiring dengan hati yang semakin merana. Kamu pun sudah tak semestinya kupertahankan. Karena bukankah kita hidup untuk selangkah demi selangkah kebahagiaan?
Aku tidak mau menghadiahkan sekotak kisah-kisah menyedihkan untuk aku yang di masa depan. Aku tak mau hanya akan menjalani hari-hari dengan air mata. Karena tidak semua rasa akan dijemput dengan sosok yang sempat dipikirkan dalam benak, maka tak apa jika untuk kita semesta memilih tidak. Aku tidak memilih untuk menunggu lalu semakin akrab dengan waktu.
Karena yang tidak diperuntukkan untuk kita, bukankah seharusnya tidak perlu dipaksa?
Jika kelak datang kesempatan untuk kembali merajut yang telah berusaha kita lupakan, mungkin saja aku menolak. Bukan karena aku tak cukup cinta, namun aku lebih memilih jalan lain yang benar-benar dikehendaki semesta. Tentang segala indah yang pernah kita cipta bersama, tak pernah kubuang percuma. Selalu kusyukuri sebagai bahagia yang mampir meski hanya sementara.
Memang tak ada yang mudah dari mengikhlaskan, namun akan sulit pula jika dipaksa untuk kuteruskan. Sebab jika kamu memang untukku, Tuhan akan mempermudah jalan ke arah situ. Dan jika usahaku telah sampai di titik tertinggi, namun cinta tetap tak bisa kamu beri, mungkin inilah waktu yang tepat untuk pergi. Pergi untuk menemukan yang memang seharusnya kumiliki.
Lewat pusaran waktu, aku meninggalkan semua peduli beralamatkan kamu disitu. Di sebuah kota kenangan yang mungkin penuh dengan namamu seperti debu, ceritaku seperti dedaunan layu. Tapi tak apa, memang hati tak boleh terlalu lama dibiarkan pura-pura buta dan pura-pura tuli.
Lepaskan hati seperti kuda liar, biarkan cinta tanpa lapisan semu yang ia kejar. Hati hanya perlu belajar membukakan yang rela menunggu masuk di depan pagar. Lalu nanti terjadilah seleksi hati dan diri, beragam rasa baru yang lahir akan segera kucicipi. Cerita cinta itu mungkin tak seindah lukisan, tapi kita bisa jadi pelukis bagi kanvas kita sendiri.
Karena bahagia itu dimulai selangkah saat kita melepas yang membuat kita terluka.
Kesalahan membuat kita tersadar bagaimana caranya menjadi lebih benar. Aku bukan berbicara tentang kamu, tapi ini tentang pilihanku ketika memilih dan memilah langkah. Pada kamu, yang kutemukan hanyalah jalan buntu hingga sepatutnya aku mencari yang baru.
Aku percaya, Tuhan lebih tahu yang terbaik. Maka itu, aku mundur dan memutar arah balik. Hingga pada cinta yang menyenangkan aku akhirnya dipertemukan kami dipertemukan. Lihatlah, betapa semesta selalu bisa menorehkan senyuman.
Hanya kadang aku yang terlalu sering mencari-cari kesedihan. Pada kenyataannya, kita memiliki jalan yang berbeda. Maka dari itu, selamat berbahagia meski bahagia tidak perlu melulu tentang kita.
Tuhan selalu membagi rata bahagia; tak mungkin pada hatimu diberikan, namun di hatiku porsinya dikurangkan. Mungkin aku hanya perlu bersabar, sebab sesuatu memang hanya akan datang ketika kita membutuhkan, bukan ketika diinginkan. Dan kuyakin, yang kubutuhkan kini adalah pelajaran dari cinta yang tak berakhir sejalan. Agar kelak, ketika hati telah didewasakan kenyataan, cinta yang baru akan lebih baik untuk kuberi pelan-pelan.

0 Response to "Bahagia Tanpa Kita"

Post a Comment