Kornea
hatimu terlalu buta, tak bisa melihat sisi hatiku yang terlupa sekaligus
terluka. Aku tahu, dengan memperbanyak tanya dalam kepala tanpa mengeluarkan
suara adalah wujud upaya sia-sia. Jika saja ada cara untuk menyadarkanmu
tentang apa yang tersimpan tanpa menetaskan keberanian. Karena kini aku begitu
takut, perasaanmu telah menciut.
Aku butuh kekuatan telepati, agar peristiwa
mendewasanya hati bisa juga kau alami. Agar bisa kau rasakan apa yang kurasakan
dari sisi hati.
Tak
mudah merasakan segalanya seorang diri, sementara sesungguhnya segala hal
tentangmu ingin kubagi. Jangan salahkan hati yang tak mampu beritakan padamu
tentang apa-apa. Sebab aku terlalu takut terluka jika yang nantinya kau beri
hanya kecewa.
Apa
rasanya jadi kamu, sesosok yang tak pernah luput dari daya ingatku? Apa rasanya
jadi kamu, seseorang yang kusayang dengan terlalu? Apa rasanya jadi kamu, yang
tak pernah tahu ada aku setia menunggu?
Ada
seorang pengagum yang dengan sangat baik memendam rahasia tentang perasaannya.
Ada yang dengan begitu rapi menyembunyikan diri sehingga tidak mudah terlihat
oleh mata. Ada yang mendoakan kebahagiaanmu meski terjadi bukan karenanya. Ada
yang berandai-andai jika saja kamu tahu siapa yang telah membuatnya jatuh
cinta. Namun ia tahu, ia sedang berharap pada sebuah ketidakmungkinan.
Harus
berguru pada siapakah hati agar ia berani mengungkapkan opini? Harus berguru
pada siapakah kamu agar rajin mengisi hati dengan namaku? Harus berguru pada
siapakah kita agar sama-sama bisa menjaga hati tanpa melukai? Seandainya ada
yang bisa mengoreksi kerja hati kita. Pasti kita tak jalan bersilangan seperti
dua yang dipenuhi keasingan.
Sebuah
bisu kupelihara dalam bisingnya aksara di kepalaku. Ingin diutarakan, namun
ragu menghalangi jalan. Ingin dipendam sendirian, namun entah hingga kapan bisa
bertahan.
Harus
bagaimana agar akal tak sibuk mencari jalan keluar dari isi kepala sendiri?
Betapa berkata apa adanya itu sulit, sesulit menghadapi ketakutan kelak tak
akan diterima apa adanya.
Bukankah
ini perihal mulut yang enggan mengungkap dan kamu yang tidak juga peka? Adilkah
ketika aku bertanya di mana semesta saat aku sedang benar-benar berharap pada
sebuah kebetulan?
Ah
sudahlah, kini biarkan aku memberi pengertian untuk diri sendiri, bahwa mungkin
saja aku telah salah menentukan arah. Mungkin saja menunggu adalah jawaban
terbaik, meski tidak sepenuhnya membuat keadaanku membaik.
0 Response to "Bisu Sendiri"
Post a Comment